Tuesday 8 March 2011

UTIS ITU PUNTUNG ROKOK

Jumat siang, entar waktunya pukul berapa. 26 Juni 1981, seorang bayi lahir. Proses persalinan berlangsung di Rumah Bersalin Sarinah. Kemungkinan sekarang menjadi rumah sakit milik pertamina di Jl. Mulawarman, Tarakan.

Orang tuaku: Sarnianto dan Djuminem, sepakat menamaiku Sutresno Wahyudi. Konon doa kedua orangtua nama itu memiliki arti tersendiri. Su --- merupakan perwakilan nama kedua orang tuaku. Kemudian tresno, kalau dalam bahasa Jawa diterjemahkan ke bahasa Indonesia artinya cinta. Kemudian wahyu, erat kaitannya dengan pemberiaan Allah dan dia sebagai tambahan.

Jadi secara keseluruhan, kedua orangtua mendoakan agar anak sulungnya ini selalu dicintai oleh siapapun dan taat kepada Allah dst. Kira-kira begitulah. Doa orangtua benar-benar ijabah. Kecilku, kata ibu, hampir tiap hari, tetanggaku berebut membawaku jalan-jalan. Mereka menyukaiku yang kata ibuku lagi, aku itu menggemaskan, lucu. Bahkan, salah satu pasangan suami istri (pasutri) yang suaminya bekerja sebagai sopir taksi membawaku keliling Tarakan dengan kendaraan tersebut tiap sore.

Oh ya, hampir saja terlupa, menjadi kebiasaanku sewaktu masa-masa balita dahulu, setiap selesai dimandikan aku selalu meminta dibawa jalan-jalan. Suatu saat, orangtuaku menyeletuk, ternyata hobiku jalan-jalan itu pertanda aku mendapati pekerjaan sebagai wartawan.


Masih soal masa kecilku, karena menyadari aku selalu minta jalan setelah dimandikan, ibuku selalu merendam aku dibak air saat beliau belum selesai mencuci pakaian dan aktivitas dapur lainnya. Barulah selesai semua, aku dimandikan, dan seperti biasa diajak jalan-jalan. Beruntung, kedua orangtuaku tak perlu repot harus mengajak aku jalan-jalan tiap hari. Tetanggaku selalu berebut minta giliran mengajak jalan-jalan.


Ibuku bercerita, ada orangtua namanya Mbak Gemuk, tinggal di Karang Balik dan tak jauh dari pasar buah yang berada di belakang Toko Makmur sekarang, sangat menyukaiku. Dia sudah meningal dunia, entah tahun kapan, tapi tidak di Tarakan. Kabar terakhir di Jawa. Saking sayangnya sama aku, kepada ibuku almarhumah Mbak Gemuk itu tak henti-hentinya di saat menimang aku selalu berkata, "Nanti kalau tole (aku) sudah besar, bantuin mbak ambil air ya," begitu kata ibuku menirukan kudangan almarhumah mbak Gemuk.


Dia memanggilku Utis. Utis itu kalau dalam bahasa Jawa artinya puntung rokok. Hmmm.... panggilan ini bukan karena bodiku seperti puntung rokok, tapi ada sejarahnya. Suatu ketika, saat aku masih balita sempat mabuk lantaran tanpa diketahui orangtuaku aku memakan puntung rokok. Orangtuaku sempat panik. Tapi setelah melihat di mulutku ada sisa tembakau, langsung dicari penawarnya. Almarhumah bak Gemuk lantas menyarankan diberi minum kopi dan tempe goreng... Benar, sarannya manjur. Sejak itulah dan sampai sekarang aku menyukai sekali tempe goreng.


Tak hanya puntung rokok, uang logam pernah ku makan. Beruntung bapakku segera tahu. Tapi banyak bicara, dia langsung memukul punggungku hingga keluar uang logam itu. Hehehehe.. lucu juga kalau orangtuaku menceritakan masa kecilku. Memang, kata ibu, aku itu termasuk tipe anak yang memiliki rasa keinginannya tinggi. Selain itu, punya banyak akal.

Pernah suatu ketika, almarhumah mbak Gemuk tadi memijatku, entah karena kesakitan, aku langsung menggigit pahanya hingga menyisahkan cacat karena gigitan gigiku. Demikian halnya bapak, suatu ketika saat siang hari, dia asyik tertidur tanpa memakai baju. Aku datang menghampiri dan langsung "menyusui" hingga bengkak dan bapakku terkejut. Bapakku mengaku sakit, tapi mengetahui kecerobohannya, dia hanya tersenyum saat itu.


Hmmm..... ngantuk (sambung lagi tulisannya, Insya Allah)*****



Wednesday 10 November 2010

SIAP JADI PRESIDEN

Mungkin ini impian? Bagiku tak ada impian karena tak usah bermimpi untuk sesuatu hal yang tidak mungkin. Dulu, saatku berjualan sayur keliling, pikiran-pikiran ini selalu ada. Terlebih saat ku harus memegang "senjata" menumpas buah kelapa sawit yang sudah matang untuk selanjutnya ditimbang, atau membabat habis segala gulma di muka bumi....


Lalu, aku pun terbangun dan sekarang ada di sebuah pulau. Menakjubkan. Impian yang tak pernah hadir dalam mimpi. Aku pun yakin, insya Allah masih ada sesuatu yang menakjubkan. Yang pasti, ini bukan impian, berniat mimpi pun tidak.....



Tarakan, Hari Pahlawan 2010
Atas nama hati nuraniku sendiri



Trisno For RI 1


Mengikuti Study Tour Siswa Berprestasi se-Tarakan (3-Habis)

Usul Film G30 S/PKI Diputar Kembali

Ruang Relik di Gedung Paseban begitu tenang. Rata-rata pengunjung Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta, saat berada di ruangan yang berhadapan dengan ruang teater itu memilih diam sembari mengamati satu per satu objek yang ada di dalamnya.

MENURUT pengakuan sebagian pengunjung ada kesan horor ketika berada di ruangan tersebut. Itu bila dikaitkan dengan beberapa papan petunjuk yang ditemui sebelum menuju Ruang Relik yang terhubung dengan Museum Pengkhianatan PKI (Komunis). Tulisan pada papan petunjuk arah tersebut memberitahukan bahwa di Ruang Replik terdapat pakaian berlumur darah yang dikenakan pahlawan revolusi saat disiksa dan dimasukkan ke dalam sumur tua. Terlebih, pada sebuah figura berbingkai dan berlatar belakang warna hijau di antaranya bertuliskan: pengunjung diharapkan dapat menjaga perasaan khidmat, tidak berteriak-teriak, bercanda, dan berbuat tidak sopan.

“Saya sempat ke ruangan itu, tapi nggak sempat ke ruang teater. Memang agak serem juga sih, soalnya di ruangan itu kita bisa lihat pakaian atau celana yang ada darahnya,” kata Rahma Handayani, siswi SMP 1 Tarakan yang termasuk rombongan studi wisata pendidikan yang diprogramkan Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Tarakan untuk siswa SLTP dan SLTA berprestasi di Jawa Barat dan DKI Jakarta.

Aceh Y.F., seorang pramuwidya yang menjadi pemandu rombongan asal Tarakan selama berada di Monumen Pancasila Sakti menerangkan, pakaian dan celana yang terdapat lumuran darah dan tersimpan di Ruang Relik merupakan barang-barang peninggalan para pahlawan revolusi.

“Di ruangan ini terdapat petikan visum (Visum et Repertum) dokter, peluru yang diketemukan dalam tubuh pahlawan revolusi, tali pengikat dan lain-lain,” kata Aceh.

Pria kelahiran Jakarta 3 Mei 1965 memang tidak melihat langsung peristiwa Gerakan 30 September (G30 S/PKI). Namun, ia mendapat banyak informasi dari kedua orangtuanya yang merasakan adanya peristiwa yang kini menuai kontroversi.

“Saya masih bayi merah waktu itu. Tapi, terlepas dari kontroversi yang terjadi sekarang ini, menurut saya, peristiwa ini sangat perlu dikenang agar kejadian ini tak terulang lagi di negeri ini,” kata anak ke-6 dari tujuh bersaudara dari pasangan almarhum Ceplik dan Alus.

Saat berada di Ruang Replik, sejumlah siswa terlihat sibuk memotret satu per satu isi yang ada di ruangan tersebut. Misalnya figura bertuliskan mengenai Visum et Repertum yang ditulis dalam tinta emas, salah satunya tentang jenazah Brigen TNI Donald Isaac Pandjaitan disebutkan bagian alis mata sebelah kanan terdapat luka tembak ukuran 1,5 centimeter x 18 milimeter, tulang tengkorak di bawahnya pecah berkeping-keping.

Pada figura tersebut juga dituliskan hasil visum jenazah mantan Asisten IV Men/Pangad yang pernah mencapat prestasi atas keberhasilannya membongkar rahasia pengiriman senjata dari Republik Rakyat Cina (RRC) untuk PKI, yakni di kepala sebelah kanan terdapat luka tembak masuk ukuran 13 x 10 milimeter, menembus tulang tengkorak seluas ujung jari telunjuk, dan bagian atas kepala terdapat luka tembak masuk seluas 4 x 1,5 centimeter, pinggiran luka robek tidak teratur, kepingan tulang tengkorak menonjol ke luar. Kemudian tertulis juga kalau di atas pangkal daun telinga jenazah salah satu pahlawan revolusi itu terdapat luka tembak keluar ukuran 18 x 15 milimeter, dasar tulang tengkorak berlubang seluas 2 x 2,5 centimeter. Di kepala bagian sebelah kiri juga terdapat luka tembak masuk dengan ukuran 1,5 x 1,5 centimeter, dan dari lubang tengkorak ini keluar jaringan otak sudah membubur berwarna merah kelabu.

“Dan di punggung tangan kiri terdapat iris yang berukuran sepanjang 3 centimeter berjalan miring arahnya dari kiri atas kanan bawah. Pada dasarnya terlihat urat-urat yang turut teriris dangkal,” demikian tulisan tinta emas pada figura Visum et Repertum jenazah D.I Pandjaitan itu.

Sebelum ke Ruang Relik, rombongan juga dibawa ke Museum Pengkhianatan PKI (Komunis) yang diresmikan Presiden RI alm. Soeharto pada 1 Oktober 1992. Di Ruang Intro yang berukuran cukup luas, pengunjung bisa menyaksikan tiga mozaik foto yang masing-masing menggambarkan kekejaman-kekejaman PKI terhadap bangsa sendiri dalam pemberontakan Madun, penggalian jenazah korban keganasan PKI dalam Gerakan 30 September 1965, dan pengadilan gembong-gembong G30 S/PKI oleh Mahkamah Militer Luar Biasa. Lalu, di Ruang Intro tersebut juga terdapat diorama yang menggambarkan peristiwa pengkhianatan PKI, antara lain tertembak matinya S.A. Sofyan pada 12 Januari 1974. Disebutkan pimpinan S.A. Sofyan, sisa-sisa PKI Kalimantan Barat mendirikan PKI gaya baru didukung oleh Pasukan Gerilya Rakyat Serawak (PGRS) dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku). Untuk menghancurkannya, sejak Februari 1969 dilancarkan Operasi Bersih III dan berhasil menghancurkan pendukung PKI gaya baru.

“Pada tanggal 12 Januari 1974, pasukan RPKAD berhasil menemukan tempat persembunyian S.A. Sofyan. Ketika disergap, ia tertembak mati,” terang Aceh Y.F.

Aceh juga sempat membawa rombongan asal Tarakan melihat lebih dekat sumur tua Lubang Buaya. Dia menerangkan, 4 Oktober 1965, di sumur inilah berhasil diangkat jenazah pahlawan revolusi.

“Pertama kali yang berhasil diangkat adalah jenazahnya Lettu Pierre Andries Tendean. Kemudian pengangkatan yang kedua berhasil mengangkat dua jenazah sekaligus, yaitu jenazahnya Mayjen TNI Soeprapto dan Mayjen TNI S. Parman,” sebut Aceh.

Di sela-sela Aceh memberikan keterangan, siswa maupun guru pendamping asal Tarakan ini silih berganti mengajukan pertanyaan. Salah satunya mengenai penghentian pemutaran film G30 S/PKI sejak 1998. Padahal sebelum itu, film besutan sutradara kondang Arifin Chairin Noer selalu ditayangkan tiap 30 September dini hari.

“Kemungkinan bisa saja film tersebut ditayangkan kembali. Silakan ajukan usulan,” kata pria yang kini dianugerahi tiga anak tersebut.

Aceh juga diberondong pertanyaan saat membawa rombongan asal Tarakan melihat lebih dekat eks rumah penyiksaan G30 S/PKI berukuran 8 meter x 15,5 meter, rumah eks pos komando milik seorang penduduk RW 02 Lubang Buaya bernama Haji Sueb, dan rumah eks dapur umum yang statusnya milik Ibu Amroh.

“Rumah yang digunakan untuk penyiksaan pahlawan revolusi itu milik Bambang Harjono. Dia terbukti bagian dari PKI. Kalau Haji Sueb, pedagang sayur dan Ibu Amroh, keduanya hanya masyarakat biasa yang pada saat kejadian mengungsi di tempat lain dan tidak termasuk bagian dari PKI,” kata Aceh lagi.

Usai mengunjungi Monumen Pancasila Sakti yang berada dalam kawasan seluas 9 hektare, rombongan dalam kegiatan 5 hari sejak 28 Oktober tersebut juga mengunjungi Monumen Nasional dan Ancol. Saat di Ancol, beberapa rombongan termasuk Radar Tarakan juga sempat bertemu dengan pelawak yang kini lagi naik daun: Azis Gagap. “Apa kabar Kalimantan? Saya baru saja dari Samarinda,” kata Azis yang saat itu pergi berlibur bersama keluarga.

Rosmini, pimpinan rombongan studi wisata pendidikan mengatakan, sepulang dari kegiatan ini, seluruh siswa yang berjumlah 40 orang ditugasi membuat karya tulis. “Mereka kemudian akan melakukan paparan,” kata Rosmini, pegawai Disdik Tarakan yang ikut dalam kegiatan tersebut.

Sekretaris Disdik Tarakan Ir Edi Susanto MSi berharap, kegiatan ini bisa memacu siswa lainnya untuk terus berprestasi. “Ke depan, tidak menutup kemungkinan kegiatan serupa kami programkan untuk murid SD berprestasi,” ujar pria yang sebelumnya berdinas di Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang Tarakan.(habis/trisno@radartarakan.com)

Mengikuti Study Tour Siswa Berprestasi se-Tarakan (2)

Di Cikole Disambut Kabut Tebal, di Cisarua Dihadang Macan Tutul

Panorama alam nan indah di Desa Cikole membuat mata lelah menjadi segar. Namun tiba-tiba kembali menjadi redup tatkala pandangan di depan terhalang kabut putih yang lumayan tebal. Belum lagi saat berada di wilayah Cisarua, macan tutul (Panthera pardus) berwajah garang menghadang di tengah jalan membuat perjalanan kali ini cukup menegangkan.

CIKOLE merupakan wilayah pedesaan yang menjadi surga bagi mata. Hijaunya tanaman palawija di sisi kanan dan kiri sepanjang Jalan Raya Tangkuban Perahu, Lembang, merupakan panorama alam yang dapat dilihat di wilayah tertentu saja.

Ya, agenda selanjutnya rombongan pelajar SLTP dan SLTA berprestasi se-Tarakan yang mengikuti studi wisata pendidikan ke Gunung Tangkuban Perahu. Namun sebelum mencapai ke salah satu gunung berapi yang masih aktif dan terus diawasi Direktorat Vulkanologi Indonesia serta memiliki bentuk Stratovulcano, rombongan singgah terlebih dahulu di Grafika Cikole.

Di sini merupakan rest area (tempat istirahat) yang cukup refresentatif karena terletak di jalur wisata Tangkuban Perahu, Air Panas Ciater, Teropong Bintang Lebang, dan Museum Geologi. Selain menikmati santapan makan siang khas Sunda, beberapa pelajar maupun pegawai Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Tarakan yang tergabung dalam rombongan studi wisata pendidikan tersebut, juga menikmati permainan flying fox dengan panjang 125 meter, dan kebun strawberry petik sendiri.

Bisa menikmati dua fasilitas tersebut, per orang cukup mengeluarkan isi saku sebesar Rp 30 ribu. Rinciannya, Rp 25 ribu untuk permainan flying fox (pulang dan pergi) sembari menikmati pemandangan rumah desa yang berada di sela-sela pepohonan cemara (Casuarinaceae sp). Selebihnya, untuk tiket masuk kebun strawberry plus menikmati jus dari buah yang kaya pigmen warna antosianin, mengandung antioksidan yang tinggi, serta diyakini mampu mencegah penyakit kanker payudara dan leher rahim.

Walaupun sebenarnya masih ada arena bermain (outbond) lainnya yang tak kalah menarik di kawasan ini seperti jembatan tali dua, jembatan borma, turun tebing (repling), jaring laba-laba, arena berkuda, mini moto ATV, serta permainan terbaru dan lebih menantang "jembatan elvis" dan dilengkapi permainan anak seperti rumah pohon.

“Ayo kita ke Gunung Tangkuban Perahu biar tidak kesorean,” kata seorang pemandu kepada rombongan yang tampak asyik menikmati pemandangan di Grafika Cikole.

Kendaraan yang membawa rombongan langsung menuju Tangkuban Perahu. Gunung yang memiliki ketinggian 2.084 meter di atas permukaan laut tersebut selalu dikaitkan dengan legenda Sangkuriang, yang dikisahkan jatuh cinta kepada ibu kandungnya, Dayang Sumbi. Namun saat rombongan masuk di pintu pertama langsung disambut kabut putih yang tebal.

“Wah, kalau kabut tebalnya begini, agak sulit kita menyaksikan pemandangan kawah Tangkuban Perahu,” kata Dedi, pengemudi mobil Avanza yang membawa Sekretaris Disdik Tarakan Ir Edi Susanto MSi dan Radar Tarakan yang ikut dalam study tour tersebut.

Hadangan kabut putih juga sedikit menyulitkan pandangan pengemudi menuju ke puncak salah satu kawah. “Tangkuban Perahu ini terdapat terdapat tiga kawah yang sering dikunjungi. Ada Kawah Ratu, Kawah Upas, dan Kawah Domas,” terang salah seorang pemandu kepada wartawan koran ini.

Kawah Domas misalnya, terdapat sumber air panas yang memiliki kandungan belerang dan dipercaya dapat menyembuhkan berbagai jenis penyakit kulit, atau dimanfaatkan sumber air panas.

“Kalau untuk merebus telur ayam dengan cara memasukkan telur itu ke dalam genangan air panas selama kurang lebih 10 menit sudah matang,” imbuhnya.

Rombongan tak mengunjungi Kawah Domas dan Kawah Upas, melainkan Kawah Ratu. Semula akibat kabut yang cukup tebal, tak ada pemandangan yang menakjubkan bisa disaksikan pada kawah terbesar di Tangkuban Perahu. Namun karena hujan di sekitar Kota Bandung, perlahan kabut putih itu pun lenyap.

“Wah serem juga ternyata. Kalau tadi kabutnya seperti itu dan tiba-tiba gunung ini meletus, bagaimana kita ini,” kata Ibrahim, guru pendamping SMK 1 Tarakan berseloroh.

Selain ketiga kawah tersebut, di Tangkuban Perahu juga terdapat Kawah Baru, Kawah Lanang, Kawah Ecoma, Kawah Jurig, Kawah Siluman, Kawah Jarian, dan Pangguyangan Badak.

Serunya perjalanan studi wisata pendidikan di Cikole dan Tangkuban Perahu ternyata tak kalah saat rombongan berada di Cisarua, Bogor, esoknya. Selain melewati kawasan Puncak yang terkenal perkebunan tehnya yang luas saat hujan lumayan deras mengguyur bumi, kendaraan yang membawa rombongan sempat berjam-jam terhenti.

“Jalur dari Jakarta ke Puncak macet total, makanya kami siasati dengan membuat satu jalur dengan sistem buka tutup,” kata petugas dari Satuan Lalu Lintas (Satlantas) Polres Bogor.

Akibat kemacetan sekitar lebih 4 kilometer ini, praktis membuat rombongan tiba di Taman Safari Indonesia, Cisurua, sore hari. Walau demikian, 40 pelajar berprestasi ini sempat menikmati detik demi detik perjalanan yang menegangkan, terutama saat berada di safari park. Di lokasi ini, rombongan langsung menyaksikan ribuan koleksi satwa dari dekat dengan konsep kebun binatang masa kini di mana satwa dilepas seperti di habitat aslinya. Tidak hanya satwa endemik Indonesia, tapi juga satwa langka dunia, hingga serasa melakukan perjalanan di hutan belantara dunia sambil menikmati keindahan panorama alam di lereng Gunung Pangrango. Antara lain ada singa Afrika (Panthera leo), hewan khas tanah Arab: unta atau onta, baik yang berpunuk tunggal (Camelus dromedarius) maupun berpunuk ganda (Camelus bactrianus), beruang madu atau malayan sun bear (Helarctos malayanus), dan si leher panjang Jerapah (Giraffa camelopardalis).

Ssttt....kunci kaca mobil rapat-rapat! Beberapa ekor macam tutul dan harimau putih (Pantera tigris) menghadang rombongan. Salah satunya memiliki tubuh lumayan besar, kira-kira tingginya hampir separo mobil Avanza. Ketegangannya jangan ditanya lagi, karena jarak penumpang yang terdapat di dalam mobil Avanza (termasuk Radar Tarakan) hanya berjarak sekitar satu meter saja dengan macan tutul yang mondar-mandir dan dalam posisi siap menerkam mangsanya. Sangat dekat. “Jangan nyalakan blitz. Khawatirnya nanti macam tutul itu naik di atas mobil,” pinta Dedi, si pengemudi.

Meski dihadang hewan karnivora yang terkenal sangat buas, keamanan tetap terjamin. Asalkan pengunjung mengindahkan aturan pengelola Taman Safari Indonesia, di antaranya tidak membuka kaca mobil kecuali saat berada di kawasan hewan-hewan tertentu, apalagi jangan sampai turun dari mobil. Sangat berbahaya! Selain itu, petugas dengan kendaraan patrolinya yang khas juga mengamati gerak-gerik hewan dan pengunjung. Tulisan bagian terakhir besok tentang penuturan warga sekitar Desa Lubang Buaya yang sempat merasakan betapa tragisnya peristiwa yang hingga kini masih menuai kontroversi: Gerakan 30 September atau G30 S/PKI. Bagaimana ceritanya? (bersambung/trisno@radartarakan.com)

Mengikuti Studi Tour Siswa Berprestasi se-Tarakan (1)

Kunjungi Sekolahnya Andhika The Titans, Kagumi Dalagita

Eks bangunan Urfese Larage School di Jl. Sumatera masih terlihat megah. Sehari setelah peringatan Hari Sumpah Pemuda, 40 siswa berprestasi se-Kota Tarakan mengunjungi bangunan peninggalan Pemerintah Hindia Belanda tersebut. Apa saja kegiatan mereka?

JUMAT pagi (29/10), lalu lintas di pusat kota Bandung terlihat ramai sekali. Terutama di Jl. Sumatera, badan jalannya yang tak terlalu lebar, sedikit merepotkan bus yang mengangkut rombongan studi wisata pendidikan siswa SLTP dan SLTA berprestasi se-Tarakan yang dikoordinir Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Tarakan menuju ke bangunan yang dindingnya dipoles cat hijau muda.

“Pagi ini kita ke SMP Negeri 2 Bandung, salah satu sekolah unggulan di Bandung,” kata Sekretaris Disdik Tarakan Ir Edi Susanto MSi yang ikut dalam rombongan study tour.

Tiba di pelataran sekolah, guru dan siswa SMP 2 Bandung yang mengenakan pakaian seragam biru-biru menyambut kehadiran tamunya dengan ramah. Lalu, rombongan diarahkan menuju ke gedung olahraga yang telah direnovasi dan diresmikan 1 Maret 2007.

“Bangunan sekolah kami memang sangat sederhana. Terutama bagian depan, konstruksinya tetap dipertahankan. Walau demikian, dari sekolah ini sudah banyak alumni-alumninya yang jadi orang ternama. Ada yang jadi pejabat seperti Pak Agum Gumelar. Kalau penyanyi malah nggak terhitung lagi,” kata Delis, guru bahasa Inggris di sekolah itu kepada Radar Tarakan yang ikut dalam rombongan.

Sederet alumni SMP 2 Bandung yang menjadi selebriti di antaranya Tri Utami, Rachel Maryam yang sekarang menjadi anggota DPR RI, mantan personel Peterpan yang sekarang bergabung di The Titans: Andhika, dan almarhum Harry Roesli.

“Ini (SMP 2 Bandung) juga sekolahnya Andhika The Titans. Dia termasuk artis yang sering mengunjungi sekolah ini, selagi ada kegiatan di Bandung. Kalau almarhum Kang Harry Roesli, beliaulah yang menciptakan hymne SMP 2 Bandung,” terang Delis lagi.

Dalam waktu yang bersamaan, terdengar kelompok musik angklung membawakan lagu-lagu mancanegara. Rombongan dari Tarakan mengungkapkan kekagumannya lewat tepuk tangan. Bahkan, para siswa yang terpilih mengikuti studi wisata pendidikan karena berprestasi di bidang akademik dan non akademik itu tak melewatkan momen tersebut dengan mengabadikannya melalui kamera digital, kamera ponsel, dan handycame. Beberapa guru pendamping juga tak mau ketinggalan.

“Mereka kompak sekali. Penampilannya sangat bagus,” kata Abdullah, guru SMA 3 Tarakan sembari mengarahkan handycame-nya ke arah panggung.

Usai penampilan kelompok musik angklung, dilanjut penampilan vokal grup terdiri lima siswa SMP 2 Bandung. Kali ini, penampilan mereka yang menamakan vokal grup Dalagita benar-benar mencuri perhatian rombongan Tarakan. Terlebih saat Fauzia Irva Lestari menjelaskan bahwa mereka pernah meraih juara pada even nasional di Festival Lomba Seni Siswa 2010, dan even internasional pada World Choir Games di Tiongkok, Juli 2010.

“Dalagita ini terbentuk 2 tahun lalu. Nama Dalagita memiliki arti gadis remaja dalam bahasa Filipina,” kata Fauzia Irva Lestari sembari memperkenalkan personel Dalagita lainnya yakni Anya, Matia, Nanda, dan Aulia.

Dalagita juga sedang mengikuti kompetisi yang diselenggarakan salah satu stasiun televisi nasional. “Mohon dukungan dengan mengirim SMS sebanyak-banyaknya,” pinta remaja berwajah ayu tersebut.

Sebagai informasi, sejarah SMP 2 Bandung dimulai sekitar tahun 1948 dengan nama Indofuropese Vereneging Kubbk School. Sekolah ini semula berlokasi di Jl. Kalipah Apo, kemudian pindah ke Jl. Kasatriaan, Jl. Papandayan, dan Jl. Babatan. Setelah ke Jl. Sumatera no. 42 pada tahun 1950, berubah nama menjadi SMP 2 Bandung, menempati bangunan bekas sekolah Belanda yang dibangun pada tahun 1913 oleh pemerintah Hindia Belanda dan diambil alih oleh pemerintah Indonesia hingga sekarang.

Dikenal sebagai sekolah unggulan, karena pelajar SMP 2 Bandung kerap meraih prestasi di banyak kompetisi. Mulai even di tingkat regional, nasional hingga internasional. Tak hanya seni, tapi juga olahraga dan bidang ekstrakurikuler lainnya. Lantas apa yang dilakukan pihak sekolah hingga melahirkan siswa-siswa berprestasi?

Pertama diawali mulai dari penerimaan siswa baru. Ada seleksi melalui jalur non-akademis yang dilakukan saat pendaftaran.

“Jalur non-akademis terdiri atas jalur bakat prestasi dan peserta didik tidak mampu,” kata Kepala SMP 2 Bandung Tata Kusnadi MPd kepada Radar Tarakan.

Dia menjelaskan, calon peserta didik yang akan mendaftar melalui jalur bakat prestasi adalah mereka yang mempunyai bakat dan prestasi istimewa dalam bidang intelektual, estetika dan olahraga yang dibuktikan dengan piagam, sertifikat, medali atau piala yang pernah diraihnya.

“Kalau calon peserta didik tidak mampu adalah mereka yang kondisi sosial ekonomi orangtuanya dikategorikan tidak mampu atau miskin sehingga tidak mempunyai kemampuan untuk membayar biaya pendidikan anaknya dengan dibuktikan oleh Surat Keterangan Tidak Mampu dari kecamatan dan SD asal,” terangnya.

Saat pemasukan berkas pendaftaran, pihak sekolah menerapkan map yang berbeda. Misalnya saat Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2010, bagi calon peserta didik yang memiliki bakat prestasi di bidang olahraga menggunakan map biru, berprestasi di bidang kesenian dengan map kuning, map hijau untuk kreatifitas dan bina prestasi.

“Untuk KKSA (Kartu Kendali Siswa Anak) yang diperuntukkan bagi siswa dari keluarga tidak mampu menggunakan map merah,” jelas Tata Kusnadi.

Pola semacam ini, lanjut dia, memudahkan pihak sekolah dan terutama guru untuk mengetahui potensi yang dimiliki siswanya. Mereka yang berbakat di bidang olahraga, secara intensif terus dibina agar membuahkan prestasi. Demikian pula untuk bidang-bidang lainnya.

“Rutin tiap minggu, kami ada jadwal pembinaan ekstrakurikuler. Dilakukan setelah proses kegiatan belajar mengajar selesai,” imbuhnya.

Dimas Riyanto, siswa kelas 7, misalnya. Dia memilih kegiatan ekskul bahasa Jepang. Kegiatannya dilaksanakan tiap Jumat. Pengajarnya didatangkan dari Jepang. “Namanya mister Kenta,” sebut siswa yang berdomisili di Kota Cimahi, Jawa Barat.

Menurut Dimas, bisa bersekolah di SMP 2 Bandung menjadi kebanggaan tersendiri. Sama halnya dengan sekolah lainnya, sekolah ini juga memiliki guru Bimbingan Konseling (BK) yang senantiasa memantau perkembangan siswanya. Jika ada siswa yang “bermasalah”, maka guru BK yang langsung turun tangan. Tidak langsung menghukum, tapi mencari akar permasalahan yang dihadapi siswa itu. “Kami bisa curhat tentang apapun sama guru BK. Beliau orangnya sangat baik,” kata Dimas lagi.

Coret-coretan terutama yang lazim dilaksanakan pasca pengumuman kelulusan siswa juga tak dilarang. Eitsss...., tapi jangan salah persepsi dulu? “Coret-coretan memang tidak dilarang di sekolah kami, tapi ada tempat khusus,” kata Henisa, salah satu siswi di sekolah.

Sebuah triplek melamin warna putih dipasang di dinding sebuah bangunan yang letaknya di depan toilet. Di tempat inilah menjadi media bagi siswa-siswi untuk coret-coretan.

“Hanya di tempat itu, kalau di tempat lain tidak boleh. Sekolah kami sangat disiplin, itu yang menjadi kebanggaan saya bisa bersekolah di sini,” ujar Dimas Riyanto.

Hal lainnya yang menjadi kekaguman rombongan dari Tarakan, khususnya guru pendamping, adalah budaya cium tangan setiap siswa bertemu dengan guru. Dimanapun mereka bertemu dengan gurunya! Sehingga bukan tidak mungkin, ridho guru menjadi salah satu modal utama bagi siswa untuk melahirkan banyak prestasi.

“Ini tidak hanya di SMP 2 Bandung saja, tapi saat saya berkunjung ke SMK juga demikian. Setiap siswa bertemu gurunya, mereka selalu cium tangan. Ini sangat jarang sekali ditemui di Tarakan,” kata Ibrahim, guru pendamping asal SMK 1 Tarakan.(bersambung/trisno@radartarakan.com)

ASSALAMUALAIKUM WR WB

Lama ku tak memposting blog ini. Hanya satu penyebabnya: lupa pasword. Walau akhirnya teringat kembali.

Saturday 7 March 2009

CINTA: DUKA SUKA ATAU SUKA DUKA


Cinta bukanlah sebuah misteri
Tapi...terkadang dia bisa digambarkan sebagai sosok yang menakutkan
Menyeramkan...
Membuat trauma bagi semua orang
Dan, mungkin orang itu salah satunya aku


Cinta juga bikin orang tergila-gila
Melupakan pentingnya berpikir secara logika
Yang ada...
Ketika cinta menghampiri, bagaimana membuat si dia bahagia

Cinta, lima huruf yang tak boleh terpisah
Mengandung sejuta makna
Menyimpan banyak duka suka atau suka duka

Andai cinta itu bisa berbicara
Dia pasti akan mengungkapkan fakta
Kalau dia itu tak ubahnya seperti celana dalam
Banyak menyimpan noda
Tapi...selalu cepat dibersihkan penggunanya

Tapi cintaku hanya satu
Tak bisa tergantikan walau hingga langit akan runtuh
Kecuali berganti waktu
Yang satu itu berganti cinta


by: Yudittia