Wednesday 10 November 2010

Mengikuti Study Tour Siswa Berprestasi se-Tarakan (3-Habis)

Usul Film G30 S/PKI Diputar Kembali

Ruang Relik di Gedung Paseban begitu tenang. Rata-rata pengunjung Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta, saat berada di ruangan yang berhadapan dengan ruang teater itu memilih diam sembari mengamati satu per satu objek yang ada di dalamnya.

MENURUT pengakuan sebagian pengunjung ada kesan horor ketika berada di ruangan tersebut. Itu bila dikaitkan dengan beberapa papan petunjuk yang ditemui sebelum menuju Ruang Relik yang terhubung dengan Museum Pengkhianatan PKI (Komunis). Tulisan pada papan petunjuk arah tersebut memberitahukan bahwa di Ruang Replik terdapat pakaian berlumur darah yang dikenakan pahlawan revolusi saat disiksa dan dimasukkan ke dalam sumur tua. Terlebih, pada sebuah figura berbingkai dan berlatar belakang warna hijau di antaranya bertuliskan: pengunjung diharapkan dapat menjaga perasaan khidmat, tidak berteriak-teriak, bercanda, dan berbuat tidak sopan.

“Saya sempat ke ruangan itu, tapi nggak sempat ke ruang teater. Memang agak serem juga sih, soalnya di ruangan itu kita bisa lihat pakaian atau celana yang ada darahnya,” kata Rahma Handayani, siswi SMP 1 Tarakan yang termasuk rombongan studi wisata pendidikan yang diprogramkan Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Tarakan untuk siswa SLTP dan SLTA berprestasi di Jawa Barat dan DKI Jakarta.

Aceh Y.F., seorang pramuwidya yang menjadi pemandu rombongan asal Tarakan selama berada di Monumen Pancasila Sakti menerangkan, pakaian dan celana yang terdapat lumuran darah dan tersimpan di Ruang Relik merupakan barang-barang peninggalan para pahlawan revolusi.

“Di ruangan ini terdapat petikan visum (Visum et Repertum) dokter, peluru yang diketemukan dalam tubuh pahlawan revolusi, tali pengikat dan lain-lain,” kata Aceh.

Pria kelahiran Jakarta 3 Mei 1965 memang tidak melihat langsung peristiwa Gerakan 30 September (G30 S/PKI). Namun, ia mendapat banyak informasi dari kedua orangtuanya yang merasakan adanya peristiwa yang kini menuai kontroversi.

“Saya masih bayi merah waktu itu. Tapi, terlepas dari kontroversi yang terjadi sekarang ini, menurut saya, peristiwa ini sangat perlu dikenang agar kejadian ini tak terulang lagi di negeri ini,” kata anak ke-6 dari tujuh bersaudara dari pasangan almarhum Ceplik dan Alus.

Saat berada di Ruang Replik, sejumlah siswa terlihat sibuk memotret satu per satu isi yang ada di ruangan tersebut. Misalnya figura bertuliskan mengenai Visum et Repertum yang ditulis dalam tinta emas, salah satunya tentang jenazah Brigen TNI Donald Isaac Pandjaitan disebutkan bagian alis mata sebelah kanan terdapat luka tembak ukuran 1,5 centimeter x 18 milimeter, tulang tengkorak di bawahnya pecah berkeping-keping.

Pada figura tersebut juga dituliskan hasil visum jenazah mantan Asisten IV Men/Pangad yang pernah mencapat prestasi atas keberhasilannya membongkar rahasia pengiriman senjata dari Republik Rakyat Cina (RRC) untuk PKI, yakni di kepala sebelah kanan terdapat luka tembak masuk ukuran 13 x 10 milimeter, menembus tulang tengkorak seluas ujung jari telunjuk, dan bagian atas kepala terdapat luka tembak masuk seluas 4 x 1,5 centimeter, pinggiran luka robek tidak teratur, kepingan tulang tengkorak menonjol ke luar. Kemudian tertulis juga kalau di atas pangkal daun telinga jenazah salah satu pahlawan revolusi itu terdapat luka tembak keluar ukuran 18 x 15 milimeter, dasar tulang tengkorak berlubang seluas 2 x 2,5 centimeter. Di kepala bagian sebelah kiri juga terdapat luka tembak masuk dengan ukuran 1,5 x 1,5 centimeter, dan dari lubang tengkorak ini keluar jaringan otak sudah membubur berwarna merah kelabu.

“Dan di punggung tangan kiri terdapat iris yang berukuran sepanjang 3 centimeter berjalan miring arahnya dari kiri atas kanan bawah. Pada dasarnya terlihat urat-urat yang turut teriris dangkal,” demikian tulisan tinta emas pada figura Visum et Repertum jenazah D.I Pandjaitan itu.

Sebelum ke Ruang Relik, rombongan juga dibawa ke Museum Pengkhianatan PKI (Komunis) yang diresmikan Presiden RI alm. Soeharto pada 1 Oktober 1992. Di Ruang Intro yang berukuran cukup luas, pengunjung bisa menyaksikan tiga mozaik foto yang masing-masing menggambarkan kekejaman-kekejaman PKI terhadap bangsa sendiri dalam pemberontakan Madun, penggalian jenazah korban keganasan PKI dalam Gerakan 30 September 1965, dan pengadilan gembong-gembong G30 S/PKI oleh Mahkamah Militer Luar Biasa. Lalu, di Ruang Intro tersebut juga terdapat diorama yang menggambarkan peristiwa pengkhianatan PKI, antara lain tertembak matinya S.A. Sofyan pada 12 Januari 1974. Disebutkan pimpinan S.A. Sofyan, sisa-sisa PKI Kalimantan Barat mendirikan PKI gaya baru didukung oleh Pasukan Gerilya Rakyat Serawak (PGRS) dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku). Untuk menghancurkannya, sejak Februari 1969 dilancarkan Operasi Bersih III dan berhasil menghancurkan pendukung PKI gaya baru.

“Pada tanggal 12 Januari 1974, pasukan RPKAD berhasil menemukan tempat persembunyian S.A. Sofyan. Ketika disergap, ia tertembak mati,” terang Aceh Y.F.

Aceh juga sempat membawa rombongan asal Tarakan melihat lebih dekat sumur tua Lubang Buaya. Dia menerangkan, 4 Oktober 1965, di sumur inilah berhasil diangkat jenazah pahlawan revolusi.

“Pertama kali yang berhasil diangkat adalah jenazahnya Lettu Pierre Andries Tendean. Kemudian pengangkatan yang kedua berhasil mengangkat dua jenazah sekaligus, yaitu jenazahnya Mayjen TNI Soeprapto dan Mayjen TNI S. Parman,” sebut Aceh.

Di sela-sela Aceh memberikan keterangan, siswa maupun guru pendamping asal Tarakan ini silih berganti mengajukan pertanyaan. Salah satunya mengenai penghentian pemutaran film G30 S/PKI sejak 1998. Padahal sebelum itu, film besutan sutradara kondang Arifin Chairin Noer selalu ditayangkan tiap 30 September dini hari.

“Kemungkinan bisa saja film tersebut ditayangkan kembali. Silakan ajukan usulan,” kata pria yang kini dianugerahi tiga anak tersebut.

Aceh juga diberondong pertanyaan saat membawa rombongan asal Tarakan melihat lebih dekat eks rumah penyiksaan G30 S/PKI berukuran 8 meter x 15,5 meter, rumah eks pos komando milik seorang penduduk RW 02 Lubang Buaya bernama Haji Sueb, dan rumah eks dapur umum yang statusnya milik Ibu Amroh.

“Rumah yang digunakan untuk penyiksaan pahlawan revolusi itu milik Bambang Harjono. Dia terbukti bagian dari PKI. Kalau Haji Sueb, pedagang sayur dan Ibu Amroh, keduanya hanya masyarakat biasa yang pada saat kejadian mengungsi di tempat lain dan tidak termasuk bagian dari PKI,” kata Aceh lagi.

Usai mengunjungi Monumen Pancasila Sakti yang berada dalam kawasan seluas 9 hektare, rombongan dalam kegiatan 5 hari sejak 28 Oktober tersebut juga mengunjungi Monumen Nasional dan Ancol. Saat di Ancol, beberapa rombongan termasuk Radar Tarakan juga sempat bertemu dengan pelawak yang kini lagi naik daun: Azis Gagap. “Apa kabar Kalimantan? Saya baru saja dari Samarinda,” kata Azis yang saat itu pergi berlibur bersama keluarga.

Rosmini, pimpinan rombongan studi wisata pendidikan mengatakan, sepulang dari kegiatan ini, seluruh siswa yang berjumlah 40 orang ditugasi membuat karya tulis. “Mereka kemudian akan melakukan paparan,” kata Rosmini, pegawai Disdik Tarakan yang ikut dalam kegiatan tersebut.

Sekretaris Disdik Tarakan Ir Edi Susanto MSi berharap, kegiatan ini bisa memacu siswa lainnya untuk terus berprestasi. “Ke depan, tidak menutup kemungkinan kegiatan serupa kami programkan untuk murid SD berprestasi,” ujar pria yang sebelumnya berdinas di Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang Tarakan.(habis/trisno@radartarakan.com)

No comments: